ACEH : The Absurd Mysticism Society


          Insya Allah, barangkali tidak salah, jika dikatakan bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memiliki karakter budaya yang cenderung menempati titik-titik ekstrim, fanatik, unik dan sekaligus anti teori. Banyak logika teoritis dan rasionalitas ilmu-ilmu pengetahuan sosial yang tidak segera compatible dengan karakter sosiologis masyarakat Aceh yang unik itu. Sehingga muncullah semacam kesulitan metodologis bagi para peneliti dalam membedah, menganalisa, dan lantas mampu mengkonstruksi suatu pemahaman yang baik, jelas dan utuh tentang tentang struktur kesadaran psikologis masyarakat Aceh.

          Marilah kita coba memahami masyarakat Aceh melalui pendekatan bedahstrukturalis- nya Claude Levi Strauss (lihat Ino Rossi, eds., The Unconscious in Culture, 1974). Pendekatan ini telah sukses diaplikasikan untuk membongkar dan memahami struktur-struktur indah, yang terdapat dibalik kerancuan tata-pikir dan tata-kesadaran masyarakat primitif Indian di Amerika Selatan. Kesadaran sosiologis mereka, masih sangat dipengaruhi berbagai mitologi, legenda dan tentu saja banyak terdapat anomaly (aneh) dan absurdity (ganjil) yang menarik untuk dipelajari (Armahedi Mahzar, Rekonstruksi Filsafat Islam, 1983 : 2).

          Dalam mistis yang unik, dan bersifat retorikmitologisatau romantik-historis, spirit mistis orang Aceh terbaca pada semboyan "Udep Saree, Mate Syahid" yang tentu mengandung semangat hidup atau mati bersama yang egaliter dan bernuansa mitologis-sakral. Semboyan ini mendorong setiap orang Aceh siap tampil menjadi martir dalam mempertahankan, membela, menjaga dan membebaskan struktur egalitarianisme masyarakatnya, dari penindasan, penghinaan dan penjajahan struktural yang datang dari pihak manapun.

          Pada sisi yang lain, masyarakat Aceh secara struktural juga tersusun atas kesadarankesadaran fenomenal formalis dalam bangun piramida feudalisme-aristokratis, yang niscaya merindukan suasana glamorous (kehidupan mewah bergengsi). Implikasinya, setiap strata sosial yang dibangun di atas mitos feudalisme itu yang secara awami menempatkan kesadaran bahwa unsur material sebagai sumber gengsi sosial dan kemuliaan yang sakral. Kesadaran ini tampak pada pertimbangan kuantitas atas anggapan tradisional masyarakat Aceh bahwa, semakin mahal mas kawin, semakin banyak tanah yang dikuasai, semakin sering frekuensi naik haji, maka seseorang semakin merasa mulia dan dimuliakan.

          Dampak negatif dari pencapaian kemuliaanmaterialistis semacam itu, muncullah sikap primitif berupa prilaku subordinatif yang "nge-boss" atau "nge-raja" terhadap para bawahannya, segera setelah ia punya harta dan kekuasaan. Di sini tampak, ada struktur kesadaran ekonomi-politik dan kekuasaan yang kental mengendap dalam benak dan dalam setiap aktifitas kehidupan masyarakat Aceh. Sikap feudalistic-ekonomis dan kekuasaan seperti ini dapat saja diidapi oleh para awam sampai seorang ulama sekalipun, ketika mereka memiliki harta dan kuasa.

          Di seberang realitas kesadaran struktural ekonomi-politik itu, masyarakat Aceh juga merupakan masyarakat yang tergolong antistruktur. Karena, ada semangat egalitarianisme yang tinggi, baik secara laten maupun manifest. Ini bersemayam dalam karakter budaya keacehan, yang satu individu dengan lainnya cenderung saling menganggap sederajat. Sehingga, seorang bibit Aceh sangat responsif dan reaktif kepada setiap tindakan pelecehan atau penghinaan, dari siapapun datangnya.

          Jadi tampaklah, bahwa ada dua karakter keacehan yang berseberangan secara diametral, yakni antara struktur abstrak tentang adanya piramida kekuasaan feudalistik yang berorientasi material dengan struktur konkrit kesadaran egalitarianisme yang berorientasi immaterial, yakni berupa gengsi dan harga diri, yang siap mati untuk membelanya.

          Dari sini muncullah karakter budaya "manok agam" (ayam jantan) dalam khasanah kelakuan keseharian masyarakat Aceh. Implikasinya, karakter politik orang Aceh adalah sama seperti karakter “ayam jantan” yang siap berlaga jika ada dua ekor “pejantan” dalam satu kandang. Akibat historisnya, masyarakat Aceh selalu cenderung untuk bersaing dan menjegal antar sesama, jika kedua “ayam-jago” tersebut ada dalam satu “kandang” kekuasaan. Dan, perseteruan pun akan semakin sengit, jika ada lebih dari dua “ayam-jago” dalam satu kandang (kantor), yang akan sangat sulit untuk diselesaikan. Karena keduanya bertahan dalam gengsinya masing-masing, dimana dimensi ilmu dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok-ukur tentang siapa yang seharusnya mengalah.

          Jika realitas sosiologis di atas kita hubungkan dengan konteks ajaran Islam, dimana Aceh dikenal cukup fanatik, maka terlihat Islam baru ditempatkan pada posisi yan marginal dan simbolik. Sehingga, nilai egalitarianisme Islam baru mampu dihayati sebatas menanamkan perasaan sederajat pada dirinya sendiri dan dalam relasi sosialnya dengan siapapun secara terbatas. Semangat persamaan derajat ini terkadang cenderung merubuhkan struktur dan penghormatan atas relasi struktur piramidal itu sendiri.

          Aneh dan uniknya adalah, jiwa-jiwa lamiet penghambaan sekaligus jiwa-jiwa besar perlawanan terhadap struktur aristokrat-feudalis dapat dimiliki sekaligus oleh satu entitas pribadi yang sama. Di sini terlihat, ada kekacauan struktur sosial dalam watak egalitarianisme masyarakat Aceh, yang muncul sebagai pribadi yang siap menghamba dan siap pula memberontak. Ia dapat sangat menghamba pada atasannya jika kebutuhan materialistisnya dapat terpenuhi dengan lancar. Namun ia pun bisa segera memberontak kepada atasannya, jika terjadi tindak atau sikap menghina, menjajah dan menindas.

          Sementara egalitarianisme Islam adalah lebih bersifat substansial dan tidak bermaksud membangun masyarakat tanpa struktur (kelas). Karena struktur dalam konteks sosiologis adalah sunnatullah. Ini tersusun, dikelola dan dijaga lewat upaya pengayoman, pemamongan dan penghormatan, terhadap lapis dan derajat struktural dari struktur hirarki piramida sosial kemasyarakatan, yang didasarkan pada mobilitas vertikal derajat keilmuan dan keshalehan.

          Di seberang fenomena egalitarianisme Aceh yang anti-struktur dan berkarakter “ayam-jago” itu, ada efek negatif terhadap sisi psycho-politis masyarakat Aceh. Yakni, setiap orang yang menempati lapisan elite, ia selalu cenderung punya gengsi dan kebanggan berlebihan pada kedudukannya. Sehingga yang bersangkutan sangat sulit untuk rela menerima dan menghargai kritik atau sekedar perbedaan pendapat sekalipun. Maka, adanya kritik dan perbedaan pendapat di kalangan orang Aceh, seringfkali dipahami sebagai hadirnya “lawan” atau bahkan “musuh” yang cepat atau lambat harus dikalahkan.

          Akibat lanjutannya, karakter kesabaran religiositas keislaman orang Aceh, nyaris tak mencakup konsep-konsep dan terma-terma “sabar”, “taubat” atau “maaf”. Karena memang, ada semacam tingkat kesulitan tertentu yang selalu membuat dirinya tidak mampu untuk merasa bersalah, dan perlu segera ditaubati. Sulit pula memberi dan meminta maaf karena memang mereka punya semacam keangkuhan “manokagam”. Ke-maaf-an hanya akan diberikan, jika seseorang bisa menghamba lewat prosedur aristokrasifeudalistik. Inilah wilayah-wilayah “ s e n t u h a n - h a t i ” yang seringkali disarankan orangorang untuk disentuh jika ingin rakyat Aceh tidak lagi memberontak.

          Lantas, oleh karena karakter religiositas yang taqlidi, simbolis dan cenderung bersikap menutup diri, maka terbataslah informasi dan insight yang justru menyebabkan keangkuhan yang tidak beralasan. Maka wajar bila kemudian mereka menjadi grasagrusu, tidak sabaran atau tergesa-gesa dalam berusaha mewujudkan cita-cita aristokratikfeudalistiknya. Uniknya, berbagai karakter masyarakat seperti itu, tampak banyak diperankan hanya antar sesama orang Aceh.

          Terhadap orang luar, orang Aceh menghadapinya dengan tiga alternatif sikap, tergantung bagaimana seseorang mengapproach- nya. Yakni: pertama sikap ramah layaknya menerima dan memuliakan tamu, jika anda berkenan menggunakan pendekatan aristokratis. Kedua, sikap cuek, ngedumel, dan angkuh tanpa kompromi, jika ia berhadapan dengan keangkuhan orang lain. Dan ketiga, sikap inferior, namun tulus, tunduk, menghamba dan setia, jika ia berhadapan dengan sikap-sikap keilmuan yang penuh kearifan. Ini bisa terjadi jika mereka merasa dirinya masih sangat terbatas dalam banyak hal dibanding orang-luar yang dipandang berilmu dan arif tersebut, walau kesimpulan keberilmuan seseorang itu juga belum tentu benar prediksinya. Karena banyak juga orang yang terlihat arif dan santun, tapi ternyata hanya suatu kemunafikan untuk kepentingan kelancaran eksploitasi belaka.

          Pada karakter asli (genuine) Aceh, yakni sebelum dipola oleh sistem orba, kita barangkali masih sangat kesulitan menemukan orang Aceh yang munafik. Karena orang Aceh lebih senang blakblakan (pakiban crah, meunan beukah, sebagaimana retak, begitulah pecahnya). Namun, sifat ini seringkali malah menjadi sesuatu yang kontra-produktif bagi dirinya sendiri, khususnya pada zaman orba yang kemunafikan disebarkan secara nasional, dan sekaligus mengancam orangorang yang berkata benar dan terus terang.

          Akhirnya, dalam pandangan saya, masyarakat Aceh sesungguhnya adalah masyarakat yang saya sebut sebagai : “The Absurd Mysticism Society“ yakni masyarakat yang menyimpan banyak misteri, anomali, irrasionalitas, absurditas (keganjilan) dan kecenderungan kepada kehidupan yang lebih bernuansa spekulatif, untung –untungan, nasibnasiban, namun uniknya, selalu masih punya harapan agar Tuhan akan berpihak padanya. Harapan kepada Tuhan itu tampak hanya percikan keinginan yang imaginatif dan bersifat mistis, karena sebenarnya mereka memang enggan berdo’a kepada-Nya secara ikhlas, khusus, khusyu, dan intens.

          Mengakhiri renungan kritis ini, ada ilustrasi menarik menyangkut orang Aceh. Yakni, kenapa banyak orang Aceh, baik muda ataupun tua, yang lebih senang “main domino” (batu) ketimbang main-catur. Karena, memang mainnya lebih mudah, banyak sisi spekulatifnya dan tak butuh strategi tertentu untuk mengalahkan lawan, kecuali kenekadan. Disamping itu, dalam permainan domino ini besar peluang dakwa-dakwinya. Maka jarang setelah main domino bisa kembali terjalin keakraban.

          Makanya, orang Aceh sangat tidak suka main catur, karena tentu lebih sulit memainkannya, perlu ngulik berfikir keras untuk membangun strategi, dan perlu pula kesabaran tinggi, agar lawan secara “cantik” dapat ditundukkan. Sehingga kemudian, diakhir permainan, kedua belah pihak siap ber-salam-an.

          Inilah Aceh yang sesungguhnya sangat memiliki potensi kecerdasan multi-etnik, karena memang, ia secara geneologis adalah berasal dari percampuran berbagai etnik besar (Arab, Cina, Eropah, Hindi). Namun sejauh ini, sentuhan pendidikan yang dialaminya masih sama sekali belum berperan mematangkan keunikan, kemistikan, kepahlawanannya (heroisme) yang tergolong maniak itu. Jika pendidikan mampu berperan untuk itu, orang Aceh akan mampu mencapai suatu derajat kearifan perennialisme dari sumber kebesaran dan keunikan tradisinya yang unik.

          Kiranya, ada ruang uji-sosial melalui pendekatan ethno-struktural metodologis yang akan menjadi lahan menarik, dalam upaya menemukan solusi arif dan tuntas atas konflik vertical Aceh-pusat, untuk menuju kehidupan yang cerdas, santun, bermartabat dan penuh akan cinta kedamaian.

Wallahu ‘alam bish-shawab…

Read More

Donya Aneuk Miët

keunarang
Dian Rubianty


       Lagèe biasa, tiëp seupôt lheuh jak beut bak Teungku Imum, aneuk miët gadôh dimeuén bola bak lapangan disampéng meunasah. Polém, sabab hana niët geumeujak saho, lheuh geu tulông Teungku peubëut aneuk miët, teuduëk bak seuramoë meunasah. Hayëu keudéh geu kalôn aneuk miët meu pluëng-pluëng dipeulét bola.
       Teungôh hayëu-hayëu jih awaknyan dimaèn bola, tiba-tiba mandum meusapat bak teungôh lapangan. Dari jeuôh teudengo bak Polém sang na yang meupaké. Polém bagah-bagah geupluëng u lapangan.
       “Hai…pakon ka karu teungôh ka meuén gèt-gèt?” teugah Polém sirap geu peusiblah aneuk miët nyan. Rupa jih si Hakim ngon si Uma yang meu paké.
       “Peu pasai ka meu paké?’ tanyong Polém watèe aneuk miët nyan ka seungap.
       “Si Hakim yang peu phôn…”
       “Jéh ka dipeusalah lôn… kah yang awai mita salah…”
       Sigohlom aneuk miët dua nyan meuseu’ot sambông lom, bagah-bagah Polém geumè awaknyan bandua u meunasah.
       “Nyo peugah haba sidroë-droë, maséng-maséng na masa bela droë,” kheun Polém watèe awaknyan man lhèe ka troh u seuramoë meunasah.
       “Hakim, drou keuh phôn…”
       “Si Uma ka off-set. Lôn peugah hanjeut sipak lé bola tapi disipak chit lam gawang kamoë.”
       “Beutoi nyan Uma?”
       “Beutoi, Bang. Tapi panéna meu cèh off-set saré. Nyo kôn meuén pura-pura. Si Hakim jih leu
that meu atô. Hana hayëu…. Man lôn peugah meunyo leu that dibôh atô, singoh-ngoh bèk asi lé jih meuén ngon awak kamoë. Jih kôn awak Meunasah Atëung blah dèh. Keupeu peurôh-rôh droë ngon kamoë. Meunyo hana galak lagèe kamoë bôh atô…” Maken bak ujong su si Uma maken rayeuk. Sampo’an Tengku Imeum geu teubiët dari kantô di sampéng seuramoë seumayang.
       Hakim teuduëk meuteukui. Sang teupeh hatéjih karena peu yang dikheun kheuneulheuh le si Uma.
       “Uma, pakon jeut raya su meunan, neuk?” leupie teudengo su Tengkue Imeum.
       “Meunyo bak pasai meureuno, hana aneuk ateung blah deh, aneuk blah no, neuk. So mantong jeut jak bak meunasah nyo, karna meunasah nyo Allah Po.”
       “Lôn hana makesud teu’ôh nyan Tengkue, meunyo si Hakim hana leu diboh atô bak meuén bola.” Uma sang mantong palak keu si Hakim. Tapi su jih hana emosi lé.
       “Meuén bola kon keu peugadoh kuerawat badan, bek sampo sabab nyan malah meupaké. Cie piké, kon hana jröh sagai sabab buët ubit, ta meu paké saré keudroë-droë?”
        Dua Aneuk miët nyan seungap lam pikeran droë maséng-maséng.
       “Meumat jaro teuma, lheuh nyan jak cok ie seumayang ta seumayang Meugreb,” kheun Tengku teuma.
       Aneuk miët dua nyan dimeumat jaro lheuh nyan dibeudoh dijak tron u yub jak tueng ie seumayang. Lheuh seumayang Meugreb Polém dijak wo u rumoh. Liwat rumoh si Jol bagah-bagah dipaléng muka. Mantông teuingat that lam haté Polém, kiban baro sa si Jol diteugah Polém bak teungoh-teungoh kawan ramè. Gèt that malè Polém watèe nyan dipeulaku lé si Jol lagèe aneuk manyak.


***


       Seupot singoh jih, Polém liwat lapangan bola meujak u meunasah. Niet lam haté meujak seumayang Meugreb ngon aneuk miët. Buno jih gabuëk ditulông Ayah, hana meuteumèe tulông Tengkue peubeut aneuk miët.
       Lam lapangan dikalôn si Hakim ngon si Uma teungoh meubagi-bagi bola. Gèt that si Hakim jok bola sampo si Uma jeut disipak bola dilop gol lam gawang lawan. Awaknyan dua dimeusurak, dimeuëm-uëm ka meunang meuèn bola.
       Sira geucok ie semahyang, Polém geutanyong keu gura-gura bak si Uma.
       “Uma, hana bungeh le droë keuh ngon si Hakim?”
       “Nyan kon baro, Bang.”seuôt Uma. Jaro jih sibôk ditôp kran ie.
       “Nyo uronyo kamoë meupake, han meunang lage buno Bang.” sambông Hakim tiba-tiba ka trôh dilikôt Polém.
       Polém teu iëm dikalôn aneuk miët duanyan meuwa-wa di ék u ateuh meunasah. Sang baro hana kejadian sapëu. Padahai Polém diteupeu that, Hakim teupeh haté ngon narit si Uma baro.
       Ban meujak ék u meunasah, dideungô su si Jol geuheui nan geuh.
       “Polém, keuno neu jak, siblah lôn mantong na pat dong.”
       Polém teujak teudong. Haté jih mantong saket. Tapi nyo ditulak dong dibineh si Jol, peu alasan jih. Peulom nyan pat shaf nyan mantong na pat dong.
       Sipanyang seumayang, Polém hana khusyu’. Pikeran jih dijak lèh ho ho. Lheuh seumayang dimeujak laju tapi si Jol dithëun jaro jih.
       “Polém, nyo droë na watèe lôn keumëu peugah haba siat.”
       Lagèe biasa si Jol ditanyông pakiban pikiran Polém. Kali nyoë pasai Mulôd Nabi urô Aleuhad ukeu. Polém diseuôt ala kada mantông. Hana meuseumangat lagèe biasa.
       Lheuh si Jol peugah hai jih, Polém teugrak haté keumëu tanyông pasai yang peugèt haté jih teupeh baro nyan lam rapat majeulieh meunasah.
       “Jol, jino lôn keumeng peugah hai lôn bak droëkeuh. Sibena jih lôn hana keumeu peugah haba ngon droë. Tapi nyo ka lhee uro. Teungkue peugah, hanjeut tayô saré-saré urëung muslim leubèh lhèe uro hana tapeugah haba.”
       Muka si Jol deuh hireun. Lam haté dicuba kirakira peu meukeusud Polém.
       “Lôn teupeh haté ngon droë lam rapat Mulod baro nyan. Neu teugah lôn lam kawan ramé.” Ah! Lapang rasa jih dada Polém lheuh dipeutroh meukeusud jih. Jikalôn muka si Jol meuubah hana mangat.
       “Polém, lôn lake meu’ah bak rayeuk that. Nyo rupa jih yang peugèt droëneuh hana lé narit ngon lôn lheuh rapat nyan. Lôn piké musabab droëneuh sibok.” Si Jol dinyhueng jaro.
       Polém hana dibalah meumat jaro si Jol, sampo akhe jih si Jol dipeutreun teuma jaro jih.
       “Lôn keubiet hana meukeusud peumalèe droë neuh. Hana mungkén lah lôn lagèe nyan. Tanyo kon ngon seujak manyak. Peu na masaalah sabé lôn lakèe tulông bak droë neuh. Meunyo kon droë yang dukong dilikot lôn, pané na aneuk muda gampong dipilèh lôn jeut keu ketua peunguroh meunasah nyo.”
       “Si go teuk lôn lake meu’ah, Polém. Hana peu-peu meunyo droë hana jeut neu peu me’ah lôn lom. Lôn teurimong salah, ka silap rôh rheut su keu droë lam teungôh kawan ramé. Watèe nyan lôn agak meukarat. Buet leupah leu, tapi mandum aneuk muda hana peureumëuen.”
       Dikalôn Polém teu iëm, Jol disambong lompeugah haba.
       “Lôn agak gugôp ngon acara go nyo. Mulod go nyo gampông tanyo geu undang siplôh bôh dayah ngon mandum aneuk yatim lingka gampông tanyo. Sang lôn harôih peugèt rapat lom, seubab droë meutu’oh lôn jeut tingat, lôn kon cuma rayeuk su ngon droë mantong, tapi rap ngon mandum rakan-rakan geutanyo yang ikôt rapat. Pasti mandum jino ka sakèt haté keu lôn.”
       Polém dikalôn si Jol di palèng muka u sampèng meunasah. Dari klap-klip lampu bak jalan deuh bak pineung sipanyang jalan diapit-apit lé angèn.
       “Teunang mantong, yang laèn hana dipeugah sapeu pasai rapat nyan. Cuma lôn mantong yang lage aneuk mit, droë kon peugah haba lam rapat sibagai ketua, kon sebagai Jol yang rakan ulôn. Hana sipatôt jih lôn lakèe neupeutimang khusuih dari droë keuh.”
       Si Jol dijok jaro teuma, go nyo Polém geusambôt bagah-bagah. Nyan awaknyan dua teukhem-khem teuma.
       “Adak droë peugah laju bak lôn lheuh rapat nyan, kon hana peureulèe lôn lhèe uro mumang hana ngon peugah haba,” kheun si Jol watèe awaknyan teungoh meulangkah meujak wo.
       “Droë turi Hakim ngon Uma kon? Meunyo kon karna awaknyan, mungken sampo an thon ukeu lôn hana peugah haba ngon droë neuh.”
       “Peu rhôh pasai Uma ngon si Hakim ngon pasai geutanyo?”
       “Lôn malèe haté ngon aneuk miët dua nyan, baro dimeulho uronyô ka meu wa—wa teuma.”
       “Tanyo yoh jameun kon meunan ciet Polém, na teutingat droë watèe ta meuén bola, lôn sipak bola bukah kaca kanto Tengkue? Karna takot, nyan ku peusalah kah. Tapi oh seupot singoh ka ta beut sama teuma kon….”
       Polém ngon si Jol teu khem-khem teuingat cerita awaknyan jameun dilèe. Ah! Leupah indah donya jih watèe mantong aneuk mit! Seubab watèe nyan jih jeut dimeuruno peu mantong, hana male meunyo salah. Bak masa nyan, Polém hanjeut diteumaki, sabé dipeugah yang seubeuna. Watèe Polém mantong aneuk mit, pakiban lam haté meunan lam narit. Lagèe urëung syiek kheun, pakiban crah meunan beukah. Watèe Polém
mantong aneuk miët, leupah mudah dipeume’ah urëung yang salah. Haté sabé lapang, donya nyo sabé peunoh keunangan.
       Masa jino, deungon meubago-bago alasan, leu yang ka meuubah! Ah! Polém harôih meureuno teuma dari donya aneuk miët. Khusoih jih bak pasai peumeu’ah salah ureung laén dan meurayeuk-rayeuk haté.


(Dian Rubianty, tinggai di NY)

Read More

Sya’ban 1412 H

Keunarang: Nyakwa Ty



       Ka bulat meukeusud Yasmin jak seutot Umi woë u gampông singoh. Nyoë kon watèe pré kuliah, Umi pih hana geulakèe jak intat. “Ka tréb that lôn hana lôn woë Mi, hawa lôn jak sigo nyoë” meunan jimeudalèh bak Umi. Han ék jitheun lé keu saboh masa’alah nyang seun-seun sigo muputa lam ulèe. Jimita ilah pakriban cara beugèt glah masa’alah nyan. Jikeuneuk jôk pulang taloëtakue nyan.

***

       Ban trôk awaknyan bak pageue ka kirôh si Kilat. Bagah that jiteupeue na ureueng trôk, rasi that jih geubôh nan nyan. Asèe ngon mie di rumoh Nèk bandum geupeunan si Kilat. Awai nyang ka maté saban cit nanjih. Bungong kômkômma mirah muda ngon putéh mubanja di leuen rumoh, sang hantom piôh jimubungong. Sabé jipumeulia jamèe tamong atawa teubiet. Bak meulu bak ulèe baréh, sikrèk sagai jimubungong.

       Rumoh raya nyan mantong lagèe biasa. Tuha ngon deuh gab, sang gèt that teupiléh kayèejih watèe geupeugèt jameuen, lom pih hana geupeujeuet-peujeuet bak geupeulaku kayèe. Ladôm teumpat geubôh kayèe meu-uké, pah bandum ngon wareuna asai kayèe. Na sidroë aneuk miet meugantung lam hayôn di yub rumoh, jijaga lé kakjih, jiduek bak rangkang toë tamèh. Mandua aneuk nyan cuco Téhcut, awak toë rumoh nyang sabé jak peungon Nyakwa.

       Nyakwa Atikah seunang that até ka trôk jamèe di Banda Aceh. Ban saboh rumoh geuyue peugléh bak Téhcut. Kasô ngon bantai geupeuteubiet nibak bungkôh keureutah peulaseutik. Bieng ngon udeueng raya geupeusan laju bak Apa Raman sidéh di neuheun, eungkôt rambeue meunyo na bak bang Taléb di pasi. Manok dara ka geuniet meusie lam dua uroë nyoë. Tréb-tréb sigo na geuwoë adék ngon aneuek keumuen geuh.

       Ban lhèe awaknyan geu-éh bak jurèe wie watèe malam. Téhcut jéh pat di seuramoë likôt. Seupôt that cit rumoh Nèk nyoë ‘oh malam. Alèh pajan keuh ék ditamong léseutrék u gampông nyoë. Beuthat pih meunan hana masa’alah sagai keu Nyakwa ngon Umi. Trôk ‘an jula mantong cit mandua awaknyan geumarit-marit.

       Bak malam keudua di gampông, jula malam beudoh Nyak Yasmin ngon panyot bak jaroë, jitrôn u dapu. Jijak tueng ie seumayang bak mon di binèh dapu. Jipeuceubeueh droëjih trôn keunan. Bak ramoë likôt na cit lueng ubit keu teumpat tueng ie seumayang ‘oh malam, ie pih ka geuseudia. Teuma hana mangat atéjih jak cok wudhuk di sinan, alèh pih na soë-soë aneuk miet jak tôh ‘iek sinan jameuen.

       Téhcut ka mangat teungeut, lam seupôt nyan di seuramoë likôt Yasmin jiseumayang tahajjud. Jiistikharah keu singoh uroë, beu-ék gèt meusampé bandum niet meukeusud lam atéjih.

***

       Ku’uek manok ban saboh rumoh ka geujaga. Halôh teudeungo azan suboh di meunasah, dumna ék geutarék su lé ureueng mubang nyan. Mandua ureueng tuha nyan hana geujak ék u rumoh lé meungka uroë. Na balè cit sinan di rumoh dapu keu teumpat seumayang.

       Rupajih di Téhcut ka mulai geupeukap apui. Bèe bara bubeue mangat teurasa ban saboh dapu. Yasmin jibuka tingkab seuramoë ngon jurèe. Sijuek that jitamong hawa u dalam. Su cicém kirôh jipo-po lam lampôh nyan. Jipinah lé di bak pineung u bak jambèe bue. Alèh cit nyan nyang geupeugah beurujuek balèe, batéjih. Tupè meulumpat-lumpat di công bak saôh. Deuh blang luah that bak binèh jalan. Mantong beungoh that uroë, seungue that, goh lom na deuh ureueng jak u blang.

       Jikalon Nyakwa Atikah geubuka geurupôh manok. Meuhambô aneuk manok cut-cut teubiet u lua. Meucieb-cieb bak gaki Nyakwa. Yasmin jitrôn keunan. Siat ka habéh breueh ngon padé lam plôk Nyakwa. Lheueh nyan Yasmin jijak keudéh u lampôh timu di keue rumoh. Pageue bak geurundông ngon kawat meuduroë ban saboh lingka lampôh. Na cit pintô ubit blah nan. Yôh manyak kon Yasmin galak jilingkeue-lingkeue pintô pageue ubit nyan. Payah jitarék dilèe dua plah trieng panyang keu pasak pintô ‘oh jikeumeung teubiet tamong. Pah guruek pasak nyan, mangat bak jitulak-tarék.

       Matauroë ka jiteubiet, meukilat-kilat cahya bak ôn u. Go nyoë Yasmin hana jiteubiet, jidong mantong di keue pintô. Jipeutimang lom sigo teuk keu nietjih uroë nyoë. Peue keuh ka beutôi niet lôn nyoë? Ho lôn mita Alhuda? Peue keuh jih mantong na bak alamat sot? Pakriban miseue hana meurumpok? Adak meurumpok pih, ék teujeuet lôn jôk pulang taloëtakue nyan? Pakiban meunyo jih ka tuwo hana teuingat sapeue lé keunan? Teuingat Yasmin keu istikharahjih beuklam. Peue na gèt kong niet lôn ‘oh lheueh istikharah nyan? Hana meunyum sapeue jirasa.

       “Nyak, ka pèt boh limèng ngon campli ubit meudua boh lèh”su Umi di dapu. Yasmin jitamong u dapu. Jicang boh limèng nyanngon bawang keu cicah keumamah nyang dang geukruet lé Umi. Jipéh boh sunti bacut ngon capli.

       “Mi, lôn keuneuk jak meu’èn siat uroë nyoë u Sigli, beh” jipeugah leugat.
       “Ho kajak, Nyak?” tanyong Nyakwa, “peue tahei si Wan bak keudè yu jak intat?”
       “Hana peue Nyakwa, sayang si Wan teungoh jimeukat, bahlé lôn jak keudroë” seu’ôt jih.
       “Bah hai Cupo, ka biasa dijih jijak-jak keudroë beuthat di Banda. Bah jijak kalon Sigli sigo” kheun Umi,  “man bèk jula that ka woë” geutamah keu Yasmin.
       “Meunyo meunan bagah teuk jak meukeumah, moto Cék Lah biasa poh lapan ka jiliwat bak keudè” kheun Nyakwa, gobnyan muphôm that keu masalah nyan beuthat jareueng that na geujak saho.

***

       Taloëtakue nyan kon meuh, kon pirak. Putéh mandum wareunajih, taloë ngon matajih. Beuthat imitasi, lagak that, meutumpôk bungong-bungong halôh bak mata peuet sagoë. Limong thôn ka likôt leubèh kureueng geujôk lé ngon jih Elya. Bak watèe nyan Alhuda, abang Elya, geujak beurangkat sikula u tanoh ‘Arab. Yasmin hantom jisôk kalông nyan. Jikeubah mantong lam plôkjih bak mari kaca. Lheueh nyan jih hana teuingat lé keu taloëtakue nyan. Meujan-jan mantong watèe jipeugléh mari na deuh lom kalông nyan.

       Sigo-go na trôh surat di ‘Arab, na tom cit awaknyan meurumpok siat watèe jiwoë u Banda Aceh. Had Uroë Raya nyang ka leupah, ka leubèh sithôn, Alhuda jak meu-uroë raya bak Yasmin. Yôh nyan jipeugah ka tamat sikula, na ngon jih peutaba buet bak dayah di Pidie, jih pih hawa jeuet keu gurèe. Laén nibak nyan jameuen kon cit galak jih keu meukat, kadang jeuet cit jibuka useuha di sinan euntreuk. Hana tréb ‘oh lheueh nyan Yasmin jiteurimong surat Alhuda di Pidie, nyan keuh keuneulheueh haba nibakjih.

       Kira-kira dua buleuen ka leupah, hana jitukon jimeulumpoë keu kalông nyan. Rasa-rasajih kalông nyan na jisôk sabé, teuma leubèh ubit. Mata kalông nyan kaca, ngon wareuna kunèng kunyèt. Teungoh jingui, kalông meu-ubah jeuet keu biru, ka rayek lom seunipatjih lagèe sot. Watèe biru nyan keuh, kalông nyan gadoh bak takue Yasmin.

       Yasmin han ék jipatéh that keu lumpoë. Teuma meujan-jan teuingat lé keunan, peu meukeusud lumpoë nyan? Teupiké jikeuneuk jôk mantong taloëtakue keu ngon jih, han rôh cit, hana sampé atéjih. Lom pih lheueh meulumpoë nyan kayém teuingat jih keu Alhuda. Pakon hana haba lé sagai seulawét nyoë? ‘Oh dudoë teupiké teuk jikeuneuk jôk pulang kalông nyan meungna langkah keudéh u Pidie sira jijak saweue sigo. Hantom nyang ka-ka na niet lagèe nyan lam atéjih, jak saweue ureueng agam, beuthat pih bak ngon sikula jih nyang toë sinan di Banda Aceh.

***

       Poh lapan labi-labi Cék Lah ka teudong bak keudè di leuen rumoh Nèk. Yasmin jicok teumpat duek di keue sabab moto mantong soh. Taloëtakue ka gèt teukeubah lam tahjih. Hana tréb jimaritmarit ngon Cék Lah, ka punoh moto. Cék Lah geujak beurangkat laju.

       Teupat that jalan nyan, mangat bak dijak moto beuthat na mubatèe bacut. Blang ngon lampôh dum sinaroë bak dua blah jalan. Hana that gèt jeuet padé bak darok nyan. Gampônggampông jeuôh deuh lam tumpôk bak kayèe. Yasmin hana piôh jieue gunong Seulawah sidéh bak binèh blang. Gèt that meusandéng dua Seulawah Agam ngon Inong leumah di jalan nyan. Seulawah Inong di keue, puncakjih bulat muplah bacut bak teungoh, nyang Agam tincu, leubèh manyang bacut teudong brat uneun di likôtjih. Teuingat Yasmin jikalon cit sabé di Banda Aceh, teuma Seulawah Agam mantong saboh nyang deuh di sidéh. Peuet blah kilo jarak u Sigli, lheueh nyan di Sigli jikeuneuk seumông lom peurjalananjih keudéh u Keumala.

***

       “Masih jauh dari sini?” tanyong Alhuda.
       “Tujuh kilo lagi kira-kira, masih jauh, saya pulang sendiri saja, itu ada labi-labi” seu’ôt Yasmin.
       “Mana ada jauh, saya sering kok ke daerah ini, ikut kawan ke neuheun”.

       Yasmin ji’iem droë, peue alèh geukheun lé Nyakwa ngon Umi eunteuk, ka jipuwoë teungku nyoë. Teuingat jih lom keu kalông, mantong na lam tahjih.

       Uroë tarék that, poh seuteungoh duablah. Na krueng rayek sinan blah uneun jalan, bak trieng meuriti sipanyang binèh krueng, bubayangjih rhot bak jalan, gèt that meu-uké ôn tincu-tincu nyan, teudôh teurasa lam moto pikap Alhuda. Ngon moto nyan keuh jipeugah jijak meuneukat keudéh keunoë ‘oh lapang watèe bak dayah.

       “Itu rumahnya, di pagar yang ada orang keluar itu” kheun Yasmin.
       “Mana?” le that bak kayèe rumoh Nèk, hana teujalok gob na rumoh sinan, meukon ka rab that, “wah, luas sekali, ya?” jikheun lom dudoë.
       “Assalamu’alaikum” rôh meusigo saleuem mandua bak pintô dapu nyang teuhah nyan.
       “Alaikumsalam, neutamong” seu’ôt Nyakwa. Mangat that teurasa di dalam rumoh, awak nyan geuduek piôh hèk bak rangkang dapu. Umi teungoh geupatè beulacan, gobnyan ka gèt meuturi ngon Alhuda.
       “Ék u ateueh lèh, panè na meu’oh jamèe duek bak dapu” kheun Nyakwa ngon Umi, “ka leueng tika-tika Nyak, na sidéh meugulông di ramoë keue” geutamah lé Nyakwa.

        Awaknyan jijak ék rot reunyeun dapu. Yasmin ji-ék leugat, jiprèh Alhuda bak pintô seuramoë likôt. Alhuda tahe teudong bak teungoh reunyeun, jikalon u yub reunyeun bak tumpok boh saôh teuleueng sinan peunoh ateueh tika.

       “Le that boh suku lagoë Nyakwa?” tanyongjih.
       “Ban teupot hai aneuk, eunteuk meungna nyang masak jeuet taci rasa” seu’ôt Nyakwa.
       “Hati-hati kepalanya” kheun Yasmin.
       “Apa?” bacut teuk rab meukhok ulèejih ngon pintô reunyeun, cit ubit that pintô nyan. Meuhan ka meukhok lôn, sabé na nyang jipeuingat aneuk inong nyoë, pikéjih.

       Seungue that di ateueh rumoh, awaknyan ji-ék ateueh rambat, seupôt sabé sinan beuthat tarék uroë di lua. Trôk u seuramoë reunyeuen barô keuh trang, jeureujak beusoë teudong sipanyang bintéh keue, ditamong bandum cahya di lua, bah pih meunan diruy that sinan. Yasmin jileueng tika, bèe ôn seukèe mantong beuthat ka jameuen tika nyan, halôh geu-anyeuem lé aruah Nèk, meuwareuna-wareuni bak binèhjih. Alhuda ji-eue bintéh meu-uké, sira lam até jipiké keu Yasmin, sa that ngon nanjih bungong meulu nyoë.

       Siat ka trôk Nyakwa jak peungon jamèe, ija sawak gèt geungui lé Nyakwa keupumeulia jamée. Yasmin trôn u dapu jijak cok ie jéb, siat ka jibalék lom, jiba ngon idang peunoh boh saôh lam pingan.

       Awaknyan geumarit-marit, Alhuda meuri seunang that até, gèt that pah cit ka jimarit bahsa Acheh. Yasmin hantom jimarit lam bahsa Acheh awai kon ngon Alhuda atawa Elya, nyan keuh hayeu jirasa ban jiteupeu ka jeuet geuh jinoë.

       “Pat gampông droëneuh?” tanyong Nyakwa.
       “Lôn awak Tamieng, Nyakwa, sidéh di Kuala Simpang gampông lôn” kheun jih.
       Yasmin jisék boh saôh, meunan jibôh lam ceupé habéh laju lé Alhuda.

       “Nibak dum boh kayèe, boh suku nyoë keuh nyang lôn galak that, Nyakwa” kheun jih meu-ulang-ulang. Alèh pakon pih jipeugah boh suku kon boh saôh, piké Yasmin, teuma hana ék jiteumanyong. Lam até jimeusyukô cit jih galak keu saôh, mangat bak jisék, adak meuboh aneueh, ka paloë lôn nyoë.

       “Neupajôh teuk, nyan nyang na mudah bak kamoë sinoë” seu’ôt Nyakwa. Di leuen rumoh na lapan bak saôh raya, deuh bandum nibak teumpat awaknyan duek.
       “Bu ka masak, jak tapajôh bu ilèe, eungkôt peue nyang na” pakat Umi, ka teudong gobnyan bak pintô rambat.
       “Hana peue Mi, lôn han jeuet tréb, mantong na janji lom uroë nyoë” kheun Alhuda.
       “Beuthat, ék na ka jeuôh neujak keunoë sigo hana tamakeuen sinoë, jeuet neuwoë laju lheueh bu eunteuk, hana peue” kheunUmi.
       “Jak, jak, di dapu mantong tapajôh bu, bèk tréb that bak tamèe
keunoë” geupeugah lé Nyakwa.

       Awaknyan geupajôh bu bak mija di dapu. Seudeurhana makanan
geutaguen lé Umi, bah pih meunan meukeunong that bak ureueng
seumajôh.

       “Le jamèe jak saweue Umi beuno, hana seumpat mumaguen” kheun Nyakwa.
       “Lôn cit ka hawa that keu gulèe rampoë, lôn pèt laju bak lampôh Nyakwa” seu’ôt Umi.
       “Mangat that beulacan jih Mi” kheun Alhuda.
       “Keu’eung bacut sang, leupah bacut lôn bôh campli”.
       “Hana Mi, ka pah nyoë, séb keu’eungjih” seu’ôt Yasmin.

       Adan leuhô ka teudeungo, ‘oh lheueh bu Alhuda jiseumayang siat di seuramoë, lheueh nyan jilakèe idin laju jijak gisa.

***

       Ka sigo aleuhad Yasmin ngon Umi gisa u Banda Aceh. Le that buet kuliah payah jikarat lé Yasmin. Seupôt nyan jipiôh hèk siat lheueh jipubuet seumubuet kuliah. Teuingat jih keu keujadian di gampông baroësa, teuingat jih keu Alhuda. Galak that jih keu boh suku. Boh suku? Oh…, nyoë keuh ban teujalokjih, teuma yakin that ka Yasmin, jih keuh nyan boh suku nyang jimeukeusud lé Alhuda. Teuma pakon cit mantong hana mangat até lôn nyoë?

       “Kriiing…” su taloëpôn.
       “Elya?…Alhuda…?…Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” Yasmin hana jiteupeue peugèt lé. Leumoh dum badan ngon teu’ôtjih. Alhuda ka habéh umu. Sinan teulinteueng bak binèh blang. Luka ban saboh badanjih, han peue tanyong soë nyang peulaku. Ajai ka trôh had ateuehjih. Ya Allah, Neupeutamong aruah jih keu asoë syeuruga…

Read More

ALMANAK ACHEH



       Sistem almanak Acheh geupeuget le indatu ureng Acheh ngon basis Islam. Basis uro jih pih lagee lam sistem Islam, meunurot buleuen, sampo lam basa Acheh takheuen sistem uro lam almanak nyan urobuleuen. Teuma watee ka keunong peungaroh basa Indoneusia (basa Keulayu, kon Meulayu), kata urobuleuen nyo meuganto jeuet keue tanggai. Teuma lam basa Malaysia, kata Meulayu nyo mantong lagee asai, haribulan. Jeuet le indatu ureung Acheh uro jeh geukheuen urobuleuen nakeuh mongken sabab dasar sistem almanak jih bak perubahan bentuk buleuen (basa ‘Arab: manzilat), dari bentuk sadeuep keue bulat keue meu-ulang bak bentuk sadeup teuma.

       Lam sistem almanak Acheh nyo, lagee lam almanak Islam (almanak Hijrah), phon uro nibak watee Mugreb, watee ilop matauro. Nyan keuh sabab jih geutanyo takheuen, miseue, malam Jeumeu’at, kon Hameh malam, sabab bak malam nyan ka jitamong Jeumeu’at. Singoh uro jih uro Jeumeu’at. Akhee malam bak watee Suboh, watee leumah fajar keudua i timu. Siat sigohlom watee suboh, (watee saho lam buleuen Puasa), mantong teukira malam, dan uro jih mantong takheuen “singoh”.

       Urobuleuen sa nakeueh watee buleuen baro, siat lheueh matauro ilop blah barat, bak horizon barat bacut i wateuh ufuq deueh buleuen, biasa rayekjih ubee “daqiq”, yakni kira-kira ubee ginong jaro. Jameuen dilee ramee ureung Acheh nyan jeuet geubileueng urobuleuen (geuhisab), saboh ‘eleumee nyan lawet nyo ka hana kayem le tateumee bak ureung Acheh. Imeum Meunasah ngon Teungku Dayah (Teungku Rayek) umumjih meuphom cara bileueng urobuleuen nyo. Teuma lam hukom Islam, ngon bileueng (hisab) mantong hana sep, peureulee jak kalon buleuen (ru’yah). Adat jak kalon buleuen nyo umumjih na watee bak awai buleuen Puasa ngon akhee buleuen Puasa, keumeung tamong buleuen Uro Raya. Teungku Rayek biasajih nyan mat narit putoh (Meulayu: keputusan) lam bhah Puasa ngon Uro Raya nyo.

       Bak nan-nan buleuen lam almanak Aceh that deuh roh Islam jih. Nan-nan buleuen almanak Aceh tabandeng ngon nan-nan buleuen almanak Islam nakeueh lagee nyo:

       Hasan Husen : Muharram
       Sapha : Safar
       Mo’lod : Rabi’ul Awal
       Ba’da Mo’lod : Rabi’ul Akhir
       Mo’lod Teungoh : Jumadil Awal
       Mo’lod Akhe : Jumadil Akhir
       Rajab : Rajab
       Sya’ban : Sya’ban
       Puasa : Ramadhan
       Uro Raya : Syawal
       Meu-apet : Dzulqa’idah
       Haji : Dzulhijjah


       Nan-nan buleuen lam almanak Aceh nyo mandum na sabab jih. Buleuen Muharram jeuet nan jih buleuen Hasan Husen nakeueh sabab peungaroh budaya Syi’ah lam adat Aceh. Dari kajian sejarah, ta tupeue Islam phon trok u Aceh bak masa Shahabat Nabi, dan mazhab nyan phon geupeuruno i Aceh nakeuh mazhab Syi’ah. Lam masalah nyo na dua kemungkinan dari pat trok Islam u Aceh, dan mandua na alasan logis jih. Kemungkinan phon nakeueh dari tanoh Persia, rot pengikot Sayyidina Hussein, cuco Nabi Muhammad SAW. Bukti nyo na bak model bate jeurat masa phon Islam nyan deueh gaya Persia. Kemungkinan keudua nakeueh dari Yaman (Hadramaut), rot pengikot Sayyidina Hussein chit, tapi nyan leubeh moderat daripada peungikot nyan na i tanoh Persia.

       I tanoh Yaman nyo, ajaran Syi’ah jih rab hana beda ngon Sunni, sabab mazhab Syiah di sinan nakeueh Ja’fariyah ngon Zaidiyah. Lam mazhab Syi’ah buleuen Muharram nakeueh buleuen nyan peunteng, sabab bak buleuen nyan, Sayyidina Hussen, cuco Nabi Muhammad SAW, jipoh mate le teuntra Yazid, raja bak masa nyan. Kejadian nyan pah bak uro ‘Asyura, 10 Muharram. Teuma Sayyidina Hasan jiracon le Yazid. Nyan keueh asai buleuen Muharram bak almanak Aceh jeuet keue buleuen Hasan Husen.

       Dua reutoh thon leubeh ajaran Syi’ah udep i Aceh. Lam masa nyan bacut-bacut trok gure-gure Islam nyan jak peuruno indatu ureung Aceh ngon ajaran Sunni mazhab Syafi’i. Bak watee nyan jalur trok Islam rot Yaman leubeh leumah, sabab di daerah Hadramaut nyan rame peungikot mazhab Syafi’i. Sementara meunyo lagee nyan umum jipeuruno bak ikula-ikula, bahwa Islam i Aceh nyan trok dari Gujarat, pasti mazhab nyan ta pakek le tanyo nakeueh mazhab Hanafi, kon mazhab Syafi’i.

       Buleuen Mo’lod mandum na peuet buleuen. Meuranggajan lam peuet buleuen nyan, adat Aceh geupeuget
khanduri Mo’lod, keue geurayakan uro lahe Nabi Muhammad SAW, buleuen Mo’lod (Rabu’ul Awal) bak 12 urobuleuen. Umumjih watee khanduri Mo’lod nyo geupeupah ngon watee lheueh keumeukoh di blang.

       Khanduri nyo saboh adat Aceh nyan jroh nibak Islam, saboh bentuk tapeumulia jame. Meunyo Nabi Muhammad Geujak bak rumoh sidro-dro sahabat, sahabat nyan geupeuteubit mandum makanan nyan na, geusi kameng, geupeuget ruti, geukhanduri keue Nabi ngon keue sahabat-sahabat laen nyan jak sajan. Meujan cit sahabat geujak undang Nabi u rumoh gobnyan jeuet geupeuget khanduri saboh kameng atawa dua. Le indatu ureung Aceh, sunnah khanduri nyo geupeulahe lam adat. Silaen khanduri Mo’lod, na cit khanduri buka puasa bak buleuen Puasa nyan geupeuadat, khanduri blang, khanduri gle, khanduri laot, dan macam-macam khanduri laen.

       Khanduri nyo gadoh makna meunyo lam niet meubut jih kon sabab Allah ngon Nabi, dan nyo nyan ka mulai ta kalon lam masyarakat Aceh. Ladom khanduri meuleu-leu reubah leumo, meuleu-leu beulangong kuah. Nyo ka hana Islami le. Peureulee ta puwo teuma bak asai mula, mandum niet sabab
Islam ngon Allah Ta’ala.

     Buleuen Puasa geukheuen meunan nakeueh sabab leubeh mangat kheuen jih bak lidah ureung Aceh dari kheuen Ramadhan. Umumjih dari buleuen Molod Akhe ka mulai geupeuget persiapan keue preh buleuen Puasa. Ureung meutani ka mulai geupula timon ngon kacang ijo keue cagruk buka puasa. Kayee dapu ka mulai geupesapat lam panteue. Kuru’an ka mulai geukalonkalon pat teupuduk jicong juree, bek hana meupat watee keumeung meudaruh tema. Bak buleuen Sya’ban, ureung-ureung inong geutop teupong bak jingki, mandum sago gampong teuleungo tak tuk jingki. Teuma ureung agam hana iem dro, geujak kalon leumo diglee toh nyan meuaso jeuet geusi keue makmeugang. Meunan cit meunasah geujak peugleh, geusai nibong keue aleue ngon papeuen keue binteh. Bah mangat bak seumayang teuraweh. Awak muda pih hana seungap, mulai jak kalon-kalon toh linto baro nyan hana tom leumah bak meunasah jeuet jijak pakat grop minsa.

       Geukheuen buleuen Meuapet nakeueh sabab buleuen nyan meuapet bak dua buleuen uro raya, buleuen Uro Raya Puasa (Idul Fitri bak Syawal) ngon buleuen Haji (Idul Adha bak 10 Zulhijjah). Lam adat Aceh dua uro raya nyo sama rayeuk.

       Teuma generasi lawet nyo ka leu nyan tuwo ngon almanak Aceh. Rot media nyo tanyo jeuet tamulai teuma tapuduk almanak Aceh nyan Islami, paleng han lam ate geutanyo.




(Sources: From various sources and personal conversation)
(Suhrawardi Ilyas, student at School of Physics, UNSW, Sydney,
Australia)

Read More
 

©2010O.o | by riezVE